PENERAPAN KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK
BAGI MASYARAKAT DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
Pengalaman Departemen Sosial
Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus
(Service for Customers with Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik, Lembaga
Administrasi Negara, Sahira Butik Hotel, Bogor 9 – 10 Oktober 2008
Oleh Edi Suharto, PhD
Pembantu Ketua I Bidang Akademik, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung; Social
Policy Analyst & Consultant, Local Governance Initiative (LGI), Hungary. Web:
www.policy.hu/suharto Email: suharto@policy.hu
Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi
yang semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung
hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak negara
berkembang pada masa lalu.
Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi
negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan
sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai profesi,
pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti
akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua
penerima pelayanan.
Menguatnya embusan globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi membawa
peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pelayanan publik, khususnya pelayanan
sosial bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus. Dengan memfokuskan pada
kelompok penyandang cacat dan lanjut usia, makalah ini membahas bagaimana
Departemen Sosial menerapkan kebijakan pelayanan sosial terhadap kelompok yang
kurang beruntung ini.
Kebijakan dan pelayanan publik
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada
tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.
Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak,
umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di
jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara
modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik
dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung
jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan
kualitas kehidupan orang banyak (Wikipedia, 2008).
2
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi.
Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan
publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya,
siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk
layanan itu.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif,
maka diperlukan sedikitnya tiga hal:
1. Adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga
dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan;
2. Kebijakan ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan
3. Adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik
mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami
penyimpangan atau tidak (Wikipedia, 2008).
Dalam masyarakat otoriter kebijakan dan pelayanan publik seringkali hanya
berdasarkan keinginan penguasa semata. Sehingga penjabaran tiga hal di atas tidak
berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah
bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat
dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin politik berkomunikasi dengan masyarakat guna
menampung keinginan mereka adalah penting. Tetapi sama pentingnya adalah
kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu
keinginan tidak bisa dipenuhi.
Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan
seluruh masyarakat setiap saat. Namun, adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak
memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan
kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.
Tantangan global
Saat ini tantangan utama negara-bangsa di seluruh dunia bukan lagi isu perang dingin.
Melainkan meningkatnya kompleksitas kemiskinan, konflik etnis, penguatan
demokrasi dengan segala resikonya, serta globalisasi ekonomi termasuk perubahan
peran dan interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat madani. Selain itu, aspirasi
dan tuntutan masyarakat juga semakin meningkat akibat semakin terbukanya
informasi dan meningkatnya kesadaran hak-hak warga negara.
Perubahan global ini telah mengubah lingkungan dimana pemerintahan beroperasi,
menantang peran tradisional negara, dan memperkenalkan aktor-aktor baru pada
proses pembangunan dan kepemerintahan (governance). Transformasi global ini juga
menuntut reformulasi peran dan tanggung jawab para pegawai negeri sebagai
pengelola sumber-sumber publik dan penjaga mandat kepercayaan masyarakat.
Eskalasi perubahan global ini juga telah menimbulkan isu-isu moral seperti
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, crony capitalism, “sweatheart deal”
privatization, dan perilaku pemerintah yang tidak profesional dan etis lainnya
(UNDESA, 2000).
3
Studi-studi menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik
telah melahirkan dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya pelayanan
publik menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintah yang
pada gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada masyarakat.
Secara ekonomi, korupsi dan rendahnya akuntabilitas institusi publik bukan saja telah
mengurangi anggaran pelayanan bagi rakyat banyak. Melainkan pula telah
menghambat perekonomian. Bukti-bukti empiris di banyak negara memperlihatkan
bahwa korupsi memiliki dampak negatif yang signifikan dan luas terhadap investasi
dan perdagangan.
Sebaliknya, korupsi yang rendah memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Analisis Regresi yang dilakukan Paul Mauro (1998) menunjukkan bahwa sebuah
negara yang mampu memperbaiki indeks korupsinya, misalnya dari 6 ke 8 (0 adalah
indeks korupsi tertinggi dan 10 terendah) mengalami peningkatan 4 persen dalam
tingkat investasi dan 0,5 persen dalam pertumbuhan GDP tahunannya.
Pergeseran paradigma
Sebagai bagian dari respon terhadap tantangan global di atas, telah terjadi pergeseran
paradigma dalam pelayanan publik. Tiga pergeseran di bawah ini penting dicatat.
1. Dari problems-based services ke rights-based services. Pelayanan sosial yang
dahulunya diberikan sekadar untuk merespon masalah atau kebutuhan
masyarakat, kini diselenggarakan guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi nasional dan konvensi internasional.
2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches. Pendekatan
pelayanan publik cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan
normatif menjadi pendekatan yang berorientasi kepada hasil. Akuntabilitas,
efektifitas dan efisiensi menjadi kata kunci yang semakin penting.
3. Dari public management ke public governance. Menurut Bovaird dan Loffler
(2003), dalam konsep manajemen publik, masyarakat dianggap sebagai klien,
pelanggan atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari
market contract. Sedangkan dalam konsep kepemerintahan publik, masyarakat
dipandang sebagai warga negara yang merupakan bagian dari social contract.
Namun demikian, ini tidak b erarti bahwa paradigm baru menafikan sama sekali
paradigma lama. Meski paradigma baru cenderung semakin menguat, diantara
keduanya senantiasa ada persinggungan dan kadang saling mendukung.
Situasi Indonesia
Pelayanan Publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan yang
mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam
penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum
memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas
produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya.
4
Selain itu, pelayanan publik di Indonesia juga belum responsif terhadap masyarakat
dengan kebutuhan khusus, termasuk terhadap kelompok rentan, penyandang cacat,
lanjut usia dan komunitas adat terpencil.
Sebagai contoh, nasib anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat di Indonesia,
sangat memprihatinkan dan jauh tertinggal dibanding di negara Asia lainnya. Nasib
mereka masih terpinggirkan hampir di semua sektor, mulai pendidikan, pekerjaan,
hingga ketersediaan fasilitas publik yang bersahabat (Suara Pembaruan, 23 Juli 2008).
Diakui, memang sudah ada regulasi tentang penyandang cacat, yakni UU 4/1997 dan
diperkuat lagi dengan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya
diatur soal anak-anak penyandang cacat. Namun, dalam kenyataannya instrumen legal
ini belum dapat diimplementasikan secara efektif. Sejumlah aturan yang
mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik oleh
masyarakat, kalangan swasta maupun pemerintah sendiri.
Belum lama ini Departemen Pendidikan Nasional memangkas anggaran pendidikan
untuk anak-anak penyandang cacat. Kebijakan pemerintah memangkas anggaran
pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dari Rp 300 miliar pada tahun anggaran
2007 menjadi Rp 130 miliar untuk anggaran 2008, jelas merupakan langkah
diskriminatif.
Sebab, anak luar biasa membutuhkan pelayanan khusus. Mereka seharusnya mendapat
perhatian khusus atau minimal sama dengan anak biasa (normal) pada umumnya
dalam mendapatkan hak pendidikan. Anak berkebutuhan khusus memiliki keperluan
yang berbeda dengan anak normal. Untuk membeli alat tulis misalnya, anak normal
cukup mengeluarkan sekitar Rp 500-Rp 1.000. Bagi anak tunanetra (buta)
pengeluaran untuk alat tulis huruf Braille bisa mencapai Rp 15.000.
Selain persoalan UU yang ada belum diimplementasikan sebagaimana mestinya,
sehingga hanya menjadi dokumen belaka, anggota masyarakat juga masih banyak
yang menganggap kelompok rentan dan berkebutuhan khusus sebagai orang yang tak
layak masuk dalam ruang publik. Wujudnya, pandangan sinis hingga sikap yang
secara langsung maupun tidak langsung mengeliminasi orang cacat atau lanjut usia
dari kehidupan sosial.
Peran Depsos
Depsos adalah lembaga pemerintah yang fungsi utamanya menjalankan pembangunan
kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial pada intinya merupakan
seperangkat kebijakan, program dan kegiatan pelayanan sosial yang dilakukan melalui
pendekatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial guna
meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan terpenuhinya hak-hak dasar
masyarakat (Suharto, 2008a).
Sasaran utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok lemah
dan kurang beruntung yang dikenal dengan istilah Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau Pemerlu Pelayanan Sosial (PKS) (Suharto, 2008b).
Lima permasalahan sosial yang menjadi target Depsos mencakup kemiskinan,
ketelantaran, kecacatan, keterasingan, dan ketunaan sosial.
5
Dalam garis besar, penerapan kebijakan pelayanan sosial difokuskan pada lima
program, yaitu:
1. Program pengembangan potensi kesejahteraan sosial, seperti organisasi sosial,
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan dunia usaha dalam upaya memperluas
jangkauan pelayanan sosial.
2. Program peningkatan kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan
sosial. Tujuan utamanya adalah meningkatnya mutu dan profesionalisme
pelayanan sosial melalui pengembangan alternatif-alternatif strategi pekerjaan
sosial, standardisasi dan legislasi pelayanan sosial.
3. Program pengembangan keserasian kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial. Tujuan utamanya adalah terwujudnya koordinasi dan
jaringan kerja yang dapat meningkatkan sistem perlindungan dan ketahanan
sosial masyarakat sehingga mereka mampu merespon gelagat dan dampak
perubahan sosial di sekitarnya.
4. Program pengembangan sistem informasi kesejahteraan sosial. Tujuannya
adalah mengidentifikasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang
diperlukan bagi perumusan kebijakan sosial, mekanisme peringatan dini, dan
koordinasi jaringan kelembagaan dalam mengendalikan masalah-masalah
sosial.
5. Program peningkatan peran serta masyarakat dan pengarusutamaan jender.
Program ini bertujuan utnuk meningkatkan partisipasi publik dan peran
lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan.
Pelayanan sosial bagi penyandang cacat
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Depsos memperkirakan jumlah penyandang
Cacat pada tahun 2006 adalah sekitar 2,429,708 atau 1,2 persen dari total penduduk
(Suharto, 2007). Survey yang dilakukan Pusdatin Depsos pada tahun 2007
menunjukkan bahwa, populasi penyandang cacat adalah sekitar 3,11 persen dari total
penduduk Indonesia. Jika jumlah penduduk tercatat 220 juta, maka jumlah
penyandang cacat mencapai 7,8 juta jiwa.
Kecacatan adalah hilangnya atau abnormalitasnya fungsi atau struktur anatomi,
psikologi maupun fisiologi seseorang. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, penyandang cacat diklasifikasikan dalam tiga jenis
kecacatan yaitu cacat fisik, cacat mental, serta cacat fisik dan mental yang dikenal
dengan “cacat ganda”.
Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang
mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan haraga diri, hubungan
antar manusia maupun dengan lingkungannya. Permasalahan sosial yang timbul dari
kecacatan antara lain adalah ketidakberfungsian sosial, yakni kurang mampunya
penyandang cacat melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar.
Masalah kecacatan juga akan semakin berat bila disertai dengan masalah
kesejahteraan sosial lainnya seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan.
Kondisi seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan
berkreasi sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi.
6
Masalah yang masih dihadapi dalam kaitannya dengan pelayanan sosial bagi
penyandang cacat adalah:
Belum tersedianya data yang akurat dan terkini tentang karakteristik
kehidupan dan penghidupan berbagai jenis penyandang cacat.
Belum memadainya jumlah dan kualitas tenaga spesialis untuk berbagai jenis
kecacatan.
Terbatasnya sarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan lainnya
yang dibutuhkan oleh penyandang cacat, termasuk aksesibilitas terhadap
pelayanan umum yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat.
Terbatasnya lapangan kerja bagi mereka (Depsos, 2003).
Pelayanan sosial bagi penyandang cacat yang dilakukan Depsos meliputi:
Pelayanan sosial di rumah (home care services) untuk konseling perlakuan
dalam situasi rumah, terapi fisik, diagnosis dan perantara untuk penempatan
dalam institusi sekolah, rujukan pelayanan rehabilitasi sosial, lapangan kerja,
pelayanan alat bantu khusus bagi penyandang cacat dan aktivitas waktu luang.
Pelayanan rehabilitasi dan dukungan untuk melaksanakan kehiduppan secara
mandiri, meliputi usaha bimbingan fisik, mental, motorik dan mobilitas, terapi
sikap dan perilaku.
Jaminan perlindungan dan aksesibilitas terhadap pelayanan publik.
Bimbingan terapi kerja, praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha
ekonomis produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) serta
pengembangan budaya kewirausahaan.
Standardisasi pelayanan sosial.
Pengembangan sistem rujukan, advokasi dan pemberian kuota pekerjaan, serta
bibimbingan resosialisasi dan penyaluran dengan mendayugunakan
mekanisme Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK), Loka Bina Karya (LBK),
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) dan Pusat Pelatihan Keterampilan
Kerja Penyandang Cacat serta lembaga pelayanan sosial lainnya.
Selain itu, untuk meningkatkan apreasi masyarakat terhadap hak asasi
penyandang cacat dilakukan penyuluhan dan peningkattan sensitivitas
masyarakat terhadap kehidupan penyandang cacat, advokasi dan perbaikan
kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan latihan (Depsos, 2003).
Pelayanan sosial bagi lanjut usia
Meningkatnya pendapatan masyarakat, membaiknya status kesehatan dan gizi
masyarakat, dan perubahan pola hidup telah meningkatkan usia harapan hidup dan
populasi lanjut usia di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memasuki era penduduk
berstruktur lanjut usia (ageing structured population).
Jika pada tahun 1980, rata-rata penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun “hanya”
sekitar 5,45 persen dari total penduduk. Maka pada tahun 1990 dan 2000,
prosentasenya meningkat menjadi 6,29 persen dan 7,18 persen. Pada tahun 2010 dan
2020, prosentase lanjut usia diperkirakan akan meningkat lagi menjadi 9,77 persen
dan 11,34 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia (Depsos, 2008; Suharto,
2008c).
7
Tantangan utama yang dihadapi akibat meningkatnya jumlah lanjut usia, terutama
mereka yang tidak potensial dan terlantar, adalah penyediaan perlindungan sosial baik
yang bersifat formal maupun informal. Penyiapan lapangan kerja yang sesuai dengan
kemampuan fisik lanjut usia merupakan tantangan lain bagi mereka yang masih
potensial.
Isu-isu lain yang terkait dengan kelanjut usiaan antara lain adalah:
Belum adanya data lanjut usia yang akurat.
Masih terjadinya duplikasi pelaksanaan program pelayanan sosial.
Jumlah lembaga pelayanan sosial lanjut usia tidak sebanding dengan jumlah
dan kompleksitas permasalahan lanjut usia.
Kurangnya informasi mengenai program dan pelayanan sosial kepada
masyarakat.
Penyediaan aksesibilitas lanjut usia pada prasarana dan saranan umum masih
sangat terbatas (Depsos, 2008).
Pelayanan sosial bagi lanjut usia yang dilakukan Depsos meliputi tiga sistem (Depsos,
2008):
1. Pelayanan sosial dalam panti (institutional-based services):
Pelayanan sosial reguler dalam Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) di
243 panti untuk memenuhi kebutuhan hidup 11.416 lansia secara
layak.
Pelayanan harian (daycare services). Pelayanan sosial yang disediakan
bagi lanjut usia yang bersifat sementara, dilaksanakan pada siang hari
pada waktu tertentu.
Pelayanan subsidi silang.
2. Pelayanan sosial luar panti (community-based services):
Home Care. Pelayanan sosial bagi lanjut usia yang tidak potensial yang
berada di lingkungan keluarganya. Misalnya, pemberian bantuan
pangan, bantuan kebersihan, perawatan kesehatan, pendampingan,
reksreasi, konseling dan rujukan. Pada tahun 2008 tercatat 5.812 lanjut
usia yang menerima pelayanan ini di 33 provinsi.
Foster Care. Pelayanan sosial bagi lanjut usia terlantar melalui
keluarga orang lain.
Jaminan sosial yang berupa tunjangan uang sebesar Rp. 300.000 per
orang per bulan. Pelayanan ini telah dilakukan sejak tahun 2006 di 6
provinsi terhadap 2.500 lanjut usia. Pada tahun 2007 diterapkan di 10
provinsi terhadap 3.500 lanjut usia. Pada tahun 2008, lanjut usia yang
menerima pelayanan ini menjadi 10.000 orang yang tersebar di 15
provinsi.
Pemberdayaan lanjut usia potensial melalui Usaha Ekonomi Produktif
(UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Di 33 provinsi, UEP
menjangkau 14.218 orang dan KUBE menjangkau 6.320 orang.
Pelayanan sosial masyarakat yang dilakukan melalui Pusat Santunan
Keluarga (PUSAKA) dan Karang Lansia. Misalnya, di DKI Jakarta
8
terdapat 115 PUSAKA dan 53 Karang Lansia yang melayani 5.615
orang.
3. Pelayanan terobosan (uji coba):
Uji coba pelayanan harian lanjut usia di 5 lokasi, yaitu di PSTW Budhi
Dharma Bekasi, Karang Wredha Yudistira Sidoarjo, PSTW Puspa
Karma Mataram, Medan dan Kupang.
Uji coba Trauma Center Lanjut Usia di 5 lokasi, yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, Yogyakarta, NTB, dan Makassar.
Uji coba Home Care di 6 lokasi, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Nanggro Aceh Darussalam, dan Kalimantan Selatan.
Pelayanan dukungan di bidang kesehatan (seperti Puskesmas Santun
Lansia dan Pengobatan Gratis/Kartu Gakin/JKM), ketenagakerjaan
(penyiapan Pra Lansia memasuki lanjut usia), dan transportasi (reduksi
tiket bagi lanjut usia).
Referensi
Bovaird, Tonny dan Elke Loffler (2003), Public Management and Governance,
London: Routledge
Depsos (2003), Pedoman Umum Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta:
Depsos RI
Depsos (2008), Kebijakan dan Program Pelayanan dan Perlindungan Kesejahteraan
Sosial Lanjut Usia, Jakarta: 2008
Mauro, Paul (1998), “Corruption: Causes, Consequences, and Agenda for Further
Research” dalam Finance & Development, A Quarterly Publication of IMF
and the World Bank, March, hal.12
Suara Pembaruan (2008), “Permasalahan Anak Seperti Gunung Es”, Koran Suara
Pembaruan, edisi 23 Juli
Suharto, Edi (2007), “Roles of Social Workers in Indonesia: Issues and Challenges in
Rehabilitation for Persons with Disability”, makalah yang disajikan pada The
Third Country Training on Vocational Rehabilitation for Persons with
Disabilities, National Vocational Rehabilitation Centre (NVRC) Cibinong,
Bogor-Indonesia, 14 Agustus
Suharto, Edi (2008a), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
(Cetakan Kedua)
Suharto, Edi (2008b), Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta (Cetakan
keempat)
Suharto, Edi (2008c), “Trend Lansia dan Pelayanan Sosial yang Harus Disediakan:
Perspektif Pekerjaan Sosial” , makalah yang disajikan pada Lokakarya
Kelanjut Usiaan dan Pelayanan Sosial Modern, Depsos RI, Bogor 23 Maret
UNDESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs) (2000),
Profesionalism and Ethics in the Public service: Issues and Practices in
selected Regions, New York: UNDESA
Wikipedia (2008), Pelayanan Publik, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik
(diakses 6 Oktober)
PENERAPAN KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK BAGI MASYARAKAT DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
Label:
Administrasi Negara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kementrian
- Kementrian Perindustrian
- Kementrian Pertahanan
- Kementrian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
- Kementrian Kelautan Dan Perikanan
- Kementrian Energi Dan Sumber Daya Mineral
- Kementrian Agama
- Kementrian Sosial
- Kementrian Hukum Dan HAM
- Kementrian Luar Negeri
- Kementrian Pekerjaan Umum
- Kementrian Dalam Negeri
- Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
- Kementrian Komunikasi Dan Informatika
- Kementrian Keuangan
- Kementrian Pendidikan nasional
- kementrian Pertanian
- Kementrian Perhubungan
- Kementrian Perdagangan
- Kementrian Kehutanan
Direktorat
- Direktorat Jenderal Pos Dan Telekomunikasi
- Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
- Direktorat Pembinaan SMP
- Direktorat Jenderal Perbendaharaan
- Direktorat Jenderal Anggaran
- Direktorat Profesi Pendidik
- Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
- Direktorat jenderal Pajak
- Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah
- Direktorat Jendral Bea Cukai
0 komentar:
Posting Komentar